Sunday, 27 March 2016

Pemberontakan Andi Azis



Pemberontakan ini berlangsung di Ujungpandang pada tanggal 5 April 1950. Tujuannya ingin mempertahankan negara Indonesia Timur. Andi Azis dibantu oleh Sultan Hamid II dan Belanda. Tetapi dalam waktu singkat dapat ditumpas oleh Tentara Indonesia dibawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. Andi Azis tertangkap dan diadili di Yogyakarta. Setelah diusut ternyata didalangi oleh Dr. Soumokil.
Pemberontakan Andi Azis terjadi di Makassar, Ujung Pandang, Sulawesi selatan pada tanggal 5 April 1950, di bawah pimpinan Kapten Andi Azis. Andi Azis seorang mantan perwira KNIL yang baru saja diterima masuk ke dalam APRIS.

Tujuan pemberontakan Andi Azis adalah untuk mempertahankan keutuhan Negara Indonesia Timur (NIT). Sedangkan latar belakang pemberontakan Andi Azis karena gerombolan yang dipimpinnya menolak masuknya pasukan-pasukan APRIS dari TNI.

Pada tanggal 5 April 1950, gerombolan Andi Azis mengadakan penyerangan dan menduduki tempat-tempat vital dan menawan Panglima Teritorium Indonesia Timur Letnan Kolonel A.J. Mokoginta.

Penumpasan pemberontakan Andi Azis
Untuk menanggulangi pemberontakan Andi Azis, pemerintah Indonesia mengeluarkan ultimatum pada tanggal 8 April 1950. Isi dari ultimatum tersebut memerintahkan kepada Andi Azis agar melaporkan diri serta mempertanggungjawabkan  perbuatannya ke Jakarta dalam tempo 4 x 24 jam. Andi Azis juga diperintahkan untuk menarik pasukannya, menyerahkan semua senjata, dan membebaskan tawanan.

Setelah batas waktu ultimatum tidak dipenuhi, pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. Pada tanggal 26 April 1950, seluruh pasukan mendarat di Makassar dan terjadilah pertempuran.

Pada tanggal 5 Agustus 1950, tiba-tiba Markas Staf Brigade 10/Garuda Makassar dikepung oleh pengikut Andi Azis, namun berhasil dipukul mundur pihak TNI. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa 5 Agustus 1950.

Setelah terjadi pertempuran selama dua hari, pasukan yang mendukung gerakan Andi Azis, yakni KNIL/KL minta berunding. Pada tanggal 8 Agustus 1950 terjadi kesepakatan antara Kolonel Kawilarang (TNI) dan Mayor Jenderal Scheffelaar (KNIL/KL).

Isi kesepakatan tersebut adalah penghentian tembak-menembak, KNIL/KL harus meninggalkan makassar dan meninggalkan semua senjatanya. Akhirnya Andi Azis dapat ditangkap dan diadili di Pengadilan Militer Jogjakarta pada tahun 1953 dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.


Lata Belakang Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.

Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa lata belakang pemberontakan Andi Azis adalah :
  1. Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja.
  2. Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan.
  3. Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)



APRA dipimpin oleh Westerling, seorang kapten Belanda. Pada tanggal 11 Desember 1946 pernah mengadakan pembunuhan besar-besaran di Sulawesi Selatan. Kemudian 23 Januari 1950 melancarkan aksi pembunuhan di Bandung. Tetapi, gerakan ini dapat segera diatasi oleh Pemerintah RIS. Westerling melarikan diri ke luar negeri.
tujuan gerakan APRA dan penumpasannya.

Gerakan APRA muncul di kalangan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Gerakan ini dipelopori oleh golongan kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia dan bermaksud mempertahankan kedudukan negara Pasundan.

Tujuan gerakan APRA sebenarnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara  federal di Indonesia dan memiliki tentara sendiri bagi negara-negara RIS.

Pada bulan Januari 1950, APRA mengajukan ultimatum kepada pemerintah Republik Indonesia dan negara Pasundan yang isinya tuntutan agar APRA diakui sebagai tentara Pasundan dan keberadaann negara Pasundan tetap dipertahankan.

Ultimatum tersebut dilanjutkan dengan melakukan gerakan teror pada tanggal 23 Januari 1950. APRA menyerang kota Bandung dan berhasil menduduki Markas Divisi Siliwangi. Akibatnya 79 orang anggota APRIS gugur, termasuk Letnan Kolonel Lembong.

Pemerintah RIS menempuh dua cara untuk menumpas pemberontakan APRA di Bandung. Yaitu dengan melakukan tekanan terhadap pimpinan tentara Belanda dan melakukan operasi militer.

Perdana Menteri RIS Moh. Hatta mengutus pasukannya ke Bandung dan mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta.

Hasil dari perundingan tersebut, Westerling didesak untuk meninggalkan kota Bandung. Gerakan APRA semakin terdesak dan terus dikejar oleh pasukan APRIS bersama rakyat, dan akhirnya gerakan APRA dapat ditumpas.
Latar Belakang Terjadinya Pemberontaka APRA
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu landasan bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Tidak hanya rakyat-rakyat biasa yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi tanda segitiga orange sebagai lambang negara Belanda
Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS .

Tuesday, 22 March 2016

Kabinet-Kabinet pada Masa Liberal



1. KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak diberi kedudukan yang sesuai. Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat pormasinya di mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX,Mr.Asaat,Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo

Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:
1.     Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.     Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.      Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.      Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.      Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Natsir yaitu berhasil melangsungkan perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

2. KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951).
Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro ( PNI ) dan Soekiman Wijosandjojo ( Masyumi ) sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman ( Masyumi )- Soewirjo ( PNI ) yang dipimpin oleh Soekiman.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:
1.      Menjamin keamanan dan ketentraman
2.     Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3.      Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4.      Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5. Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.

Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman yaitu tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.

Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.


3. KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( M asyumi ) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo,sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:
1.      Program dalam negeri      : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2.      Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.

Kabinet ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut.
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak. Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

4. KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet keempat adalah kabinet Ali Sastroamidjojo,yang terbentuk pada tanggal 31 juli 1953. betapapun kabinet ini tanpa dukungan masyumi, namun kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU. Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai Indonesia Raya PIR).
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah:
1.     Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
2.     Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3.     Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4.     Penyelesaian Pertikaian politik.


Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo I yaitu.
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Konferensi asia afrika I ini disenggarakan di bandung pada tanggal 18-24 April 1955.konferensi dihadiri oleh 29 negara – negara Asia – Afrika,terdiri 5 negara pengundang dan 24 negara yang diundang. KAA I itu ternyata memilikipengaruh dan arti penting dagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa Asia – Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti :
a. Berkurangnya ketegangan dunia.
b. Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik rasdiskriminasi di negaranya.
c. Belanda mulai repot menghadapi blok afro- asia di PBB, karena belanda masih bertahan di Irian Barat.
Konferensi Asia – Afrika I ini menghasikan beberapa kesepakatan yaitu : Basic peper on Racial Discrimination dan basic peper on Radio Activity. Kesepakatan yang lain terkenal dengan dasa sila bandung, dengan terlaksananya Konferensi Asia Afrika I merupakan prestasi tersendiri bagi bangsa indonesia.

Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.

Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
E. KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.
Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:
1.      Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2.      Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
3.      Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4.      Perjuangan pengembalian Irian Barat
5.      Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Burhanuddin Harahap yaitu.
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955, yang mana menjadi penyebab kegagalan dari kabinet Ali dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.

Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.

5. KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandate untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah:
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
1.      Perjuangan pengembalian Irian Barat
2.     Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
3.      Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4.      Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5.     Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
·        Pembatalan KMB,
·        Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif,
·        Melaksanakan keputusan KAA.

Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah kabinet ini mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.



Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.

Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

6. KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik. Dipimpin oleh Ir. Juanda.

Program pokok dari Kabinet Djuanda adalah:
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
·        Membentuk Dewan Nasional
·        Normalisasi keadaan Republik Indonesia
·        Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
·        Perjuangan pengembalian Irian Jaya
·        Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu.
Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.

Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.

Kabinet Djuanda berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.